Dalam bepergian, ada
beberapa keringanan (rukhsah) dalam beribadah yang diberikan oleh agama
kita untuk meringankan dan memudahkan pelaksanaannya. Salah satu
keringanan tersebut adalah pelaksanan ibadah sholat dengan cara qashar
(dipendekkan) dan dengan cara jamak (menggabung dua sholat dalam satau
waktu). Dengan demikian pelaksanaan sholat dalam perjalanan, atau
disebut “sholatus safar”, dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai
berikut :
1. Itmam, atau sempurna yaitu dilakukan seperti biasanya saat dirumah.
2. Qashar, yaitu sholat yang semestinya empat rakaat diringkas atau dipendekkan menjadi dua roka’at.
3. Jama’, yaitu mengumpulkan dua sholat, Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’, dalam salah satu waktunya.
SEMPURNA ATAU QOSHOR?
Para ulama berbeda pendapat mengenai
manakah yang lebih utama dalam melaksanakan sholat saat bepergian,
apakah dengan sempurnya seperti biasa ataukah dengan qashar.
Pendapat pertama mengatakan qashar
shalat saat bepergian hukumnya wajib. Pendapat ini diikuti mazhab
Hanafiyah, Shaukani, Ibnu Hazm dan dari ulama kontemporer Albani. Bahkan
Hamad bin Abi Sulaiman mengatakan barangsiapa melakukan sholat 4 rakaat
saat bepergian, maka ia harus mengulanginya. Imam Malik juga
diriwayatkan mengatakan mereka yang tidak melakukan qashar harus
mengulangi sholatnya selama masih dalam waktu sholat tersebut.
Pendapat ini menyandar kepada dalil
hadist riwayat Aisyah r.a. berkata:”Pada saat pertama kali diwajibkan
shalat adalah dua rakaat, kemudian itu ditetapkan pada shalat bepergian,
dan untuk sholat biasa disempurnakan” (Bukhari Muslim). Dalil ini juga
diperkuat oleh riwayat Ibnu Umar r.a. beliau berkata:”Aku menemani
Rasulullah s.a.w. dalam bepergian, beliau tidakpernah sholat lebih dari
dua rakaat sampai beliau dipanggil Allah” (Bukhari Muslim).
Dalil lain dari pendapat ini adalah riwayat Ibnu Abbas r.a. juga pernah berkata:”Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan sholat melalui lisan Nabi kalian s.a.w. bahwa
untuk orang bepergian dua rakaat, untuk orang yang menetap empat rakaat
dan dalam keadaan ketakutan satu rakaat.“(H.R. Muslim).
Pendapat kedua mengatakan bahwa
melakukan sholat dengan cara qashar saat bepergian hukumnya
sunnah. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Syafii dan Hanbali dan
mayoritas ulama berbagai mazhab.
Dalil pendapat ini adalah ayat al-Qur’an:
”Dan apabila kamu bepergian di muka
bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu.” -QS Annisa:101.
Ayat ini dengan jelas menyatakan “tidak mengapa” yang berarti tidak keharusan. Dalil tersebut juga diperkuat oleh
riwayat dari beberapa orang sahabat yang melakukan sholat sempurna pada
saat bepergian. Sekiranya qashar wajib, tentu tidak akan ada seorang
sahabat yang meninggakannya. Beberapa sahabat yang diriwayatkan tidak
melakukan qashar saat bepergian adalah Usman, Aisyah dan Saad bin Abi
Waqqas r.a..
Dalil lain adalah bahwa tatkala seorang
musafir bermakmum dengan orang yang mukim, maka wajib baginya
menyempurnakan sholat mengikuti tata cara shalat imam yang mukim. Imam
Syafii mengatakan telah terjadi konsensus (Ijma’) ulama mengenai hal
tersebut. Seandainya sholat musafir wajib qashar dan dua rakaat maka
tentu sholatnya musafir tadi tidak sah karena melebihi dua rakaat. Ini
menunjukan bahwa qashar bukan keharusan, tetapi anjuran atau sunnah.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa
makruh hukumnya menyempurnakan sholat saat bepergian dan sangat
disunnahkan untuk melakukan qashar. Alasannya, bahwa qashar merupakan
kebiasaan Rasulullah s.a.w. dan merupakan sunnah, meninggakan sunnah
merupakan perkara makruh. Rasulullah s.a.w. juga mengatakan dalam sebuah
hadist yang sangat masyhur:” Sholatlah kalian sebagaimana kalian
melihatku melakukannya sholat”.
CARA SHOLAT QASHAR
Pelaksanaan sholat qashar sama seperti
sholat biasa, hanya saja, sholat yang semestinya empat roka’at yaitu
dhuhur, ashar, dan isya’, di ringkas menjadi dua roka’at dengan niat
qashar pada waktu takbirotul ihram. Contoh lafadz niat qashar : Usholli fardlod-dhuhri rok’ataini qoshron lillahi ta’ala. Artinya : saya niat sholat dhuhur dengan diqashar dua roka’at karena Allah.
SYARAT-SYARAT QASHAR
Orang yang sedang bepergian (musafir),
diperbolehkan melakukan sholat dengan qashar, apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat, seperti bepergian dengan tujuan mencuri, dan lain-lain.
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya
berjarak kurang lebih 80,64 km.Muslim sahaat Anas bin Malik r.a.
berkata: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sejauh tiga mil atau tiga
farsakh, beliau melakukan shalat dua rakaat.
Hadist lain meriwayatkan Rasulullah s.a.w
bersabda:”Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian melakkan qashar pada
perjalanan kurang dari empat bard, yaitu dari Makkah ke Usfan”. (H.r.
Dar Quthni dari Ibnu Abbas. Hadist ini juga diriwayatkan sebagai
statemen Ibu Abbas).
Para ulama pada zaman dahulu
memperkirakan jarak tersebut dengan durasi perjalanan selama dua hari
menggunakan kuda atau onta. Dan para ulama sekarang memperkirakan sejauh
80,64 km atau dibulatkan 80 km. perbedaan kurang atau lebih sedikit
tidak masalah karena al-Qur’an tidak secara jelas memberikan batasan
jarak dan hadist-hadist dan perhitungan jarak mil dan farsakh versi lama
masih mengalami perbedaan. Imam Syafii sangat ketat memberlakukan
hitungan tersebut, yakni harus melebih minimal 80,6 km tidak boleh
kurang.
- Mengetahui hukum diperbolehkannya qashar.
- Sholat yang di qashar berupa sholat empat roka’at. Yakni Dhuhur, Ashar dan Isya’
- Niat qashar pada saat takbirotul ihram.
- Tidak bermakmum/berjama’ah kepada orang yang tidak sedang melakukan qashar sholat.
- Tidak berniat mukim untuk jangka waktu lebih dari tiga hari tiga malam di satu tempat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai
berapa lama seorang musafir masih diperbolehkan melakukan qashar ketika
transit di satu tempat. Mayoritas ulama dan mazhab empat kecuali Hanafi
mengatakan maksimum transit yang diperbolehkan melakukan qashar adalah
tiga hari. Kalau seorang musafir menetap di satu tempat telah melebihi
tiga hari maka ia tidak boleh lagi melakukan qashar dan harus
menyempurnakan sholat. Pendapat kedua diikuti imam Hanafi dan Sofyan
al-Tsauri mengatakan maksimum waktu transit yang dipernolehkan jama’
adalah 15 hari. Pendapat ketiga diikuti sebagian ulama Hanbali dan Dawud
mengatakan maksimum 4 hari.
JAMA’ SHOLAT (MENGGABUNG DUA SHOLAT)
Menjama’ sholat adalah melakukan sholat
Dhuhur dan Ashar dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara
berturut-turut, atau melaksanakan sholat Maghrib dan Isya’ dalam salah
satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut. Maka sholat
dengan cara jama’ ada dua macam:
1. Jama’ taqdim. Yaitu mengumpulkan
sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu dhuhur, atau sholat maghrib
dan sholat isya’ dalam waktu maghrib.
2. Jama’ ta’khir. Yaitu mengumpulkan
sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu ashar, atau sholat maghrib
dan sholat isya’ dalam waktu isya’.
HUKUM JAMA’
Banyak yang beranggapan bahwa jama’
merupakan ketentuan yang tidak terkait dengan qashar. Sejatinya kedua
cara sholat ini tidak ada kaitannya dan mempunyai ketentuan
sendiri-sendiri, hanya saja sering keduanya dilaksanakan secara
bersamaan. Jadi melakukan qashar sholat dan sekaligus melakukan jama’.
Sholat seperti itu disebut jama’ qashar.
Para ulama melihat bahwa ketentuan jama’
lebih longgar dibandingkan dengan qashar. Qashar boleh dilakukan pada
kondisi tertentu dan sesuai aturan dan syarat di atas, tetapi jama’
mempunyai ketentuan yang tidak seketat ketentuan di atas.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai
diperbolehkannya jama’ sholat. Mayoritas ulama mengatakan jama’ sholat
hukumnya boleh dan merupakan hak musafir. Karena hukumnya boleh maka
seorang musafir boleh malakukan jama’ dan boleh tidak melakukannya.
Melakukannya dengan keyakinan mengikuti Rasululah s.a.w. adalah
kesunahan.
Dalil-dalil yang menunjukkan dipebolehkannya jama’ adalah antara lain:
- Hadist riwayat Bukhari dari Anas bin
Malik r.a. belaiau berkata bahwa Rasulullah s.a.w menggabung sholat
Maghrib dan Isya’ pada saat bepergian.
- Hadist riwayat Muslim dari Muadz
beliau berkata: kami bepergian bersama Rasulullah s.a.w. untuk perang
Tabuk, beliau melakukan sholat Dhuhur dan Ashar secara digabung dan
begitu juga dengan sholat Maghrib dan Isya’.
- Hadist Anas bin Malik r.a.:
Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari condong ke barar,
beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti
dan sholat keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat
maka beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan”. (h.r. Bukhari
Muslim).
- Hadist Ibnu Umar r.a. berkata: suatu
hari aku dimintai pertolongan oleh salah satu keluarganya yang tinggal
jauh sehingga beliau melakukan perjalanan, beliau mengakhirkan maghrib
hingga waktu isya’ kemudian berhenti dan melakukan kedua sholat secara
jama’, kemudian beliau menceritakan bahwa itu yang dilakukan Rasulullah
s.a.w. ketika menghadapi perjalanan panjang. Kedua hadist di atas juga dijadikan
landasan diperbolehkannya jama’ taqdim, yaitu melakukan kedua pasangan
sholat di atas dalam waktu pertama.
- Hadist Muadz r.a. bahwa Rasulullah
s.a.w. pada waktu perang Tabuk, manakala beliau meulai perjalanan
setelah Maghrib, beliau memajukan Isya’ dan melaksanakannya di waktu
sholat maghrib. (h.r. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau
menghasankan hadist ini).
Sebagian ulama dari kelompok ini
mengatakan bahwa yang utama bagi musafir yang sedang dalam perjalanan
adalah melakukan jama’. Sedangkan musafir yang melakukan transit atau
stop over lebih utama melakukan sempurna. Yang jelas dengan semangat
mengikti sunnah Rasulullah s.a.w. maka kita mengikuti yang paling mudah
dan meringankan sejauh itu tidak dosa. Rasulullah s.a.w. tidak pernah
disodori dua pilihan kecuali mengambil yang paling mudah selama itu
tidak dosa, kalau itu dosa maka beliau yang paling gigih menjauhinya
(h.r. Bukhari dan Muslim).
Pendapat kedua adalah yang diikuti imam
Ibu Hanifah atau mazhab Hanafi mengatakan bahwa sholat jama hanya boleh
dilakukan pada hari Arafah untuk para jamaah haji, yaitu jama’ taqdim,
dan jama’ ta’kir pada malam Muzdalifah. Alasan pendapat ini bahwa
riwayat-riwayat yang menceritakan waktu-waktu sholat adalah hadist
mutawaatir (diriwayatkan banyak orang), sedangkan hadist yang
meriwayatkan jama’ selain di waktu haji adalah hadist Ahad (personal),
hadist yang mutawatir tidak bisa ditinggalkan dengan hadist ahad.
Pendapat ini juga melandaskan pada riwayat Ibnu Mas’ud r.a. beliau
berkata: “Demi Dzat yang tidak ada tuhan lain yang menyekutuinya,
Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukan sholat kecuali pada waktunya
kecuali dua sholat, yaitu beliau melakukan jama’ (taqdim) dhuhur dan
ashar di Arafah dan jama’ (ta’khir) maghrib dan isya di Muzdalifah”
(h.r. Bukhari Muslim).
CARA JAMA’ TAQDIM
Yang dimaksud dengan sholat jama’ taqdim
adalah, melakukan sholat ashar dalam waktunya sholat dhuhur, atau
melakukan sholat isya’ dalam waktunya sholat maghrib. Sholat shubuh
tidak dapat dijama’ dengan sholat isya’. Pelaksanaan sholat dengan jama’
taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dilakukan dengan cara,
setelah masuk waktu dhuhur, terlebih dahulu melakukan sholat dhuhur, dan
ketika takbirotul ihram, berniat menjama’ sholat dhuhur dengan ashar.
Contoh :
Usholli fardlod-dhuhri jam’an bil ‘ashri taqdiman lillahi ta’ala.
Artinya : “Saya berniat sholat dhuhur dengan dijama’ taqdim dengan ashar karena Allah”
Niat jama’ taqdim, dapat juga dilakukan
di tengah-tengah sholat dhuhur sebelum salam, dengan cara berniat
didalam hati tanpa diucapkan, menjama’ taqdim antara ashar dengan
dhuhur.
Kemudian setelah salam dari sholat
dhuhur, cepat-cepat melakukan sholat ashar. Demikian juga cara sholat
jama’ taqdim antara sholat maghrib dengan sholat isya’, sama dengan cara
jama’ taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dan lafadz dhuhur
diganti dengan maghrib, lafadz ashar diganti dengan isya’.
Jika sholat jama’ taqdim dilakukan dengan
qashar, maka sholat yang empat raka’at, yaitu dhuhur, ashar, dan isya’,
diringkas menjadi dua rokaat. Contoh niat jama’ taqdim serta qashar:
Usholli fardlod-dhuhri rok’ataini jam’an bil ‘ashri taqdiman wa qoshron lillahi ta’ala
Artinya : “Saya berniat sholat dhuhur dua roka’at dengan dijama’ taqdim dengan ashar dan diqashar karena Allah “
SYARAT-SYARAT JAMA’ TAQDIM
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan sholat jama’ taqdim, dengan syarat sebagai berikut :
- Bukan berpergian maksiat .
- Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
- Berniat jama’ taqdim dalam sholat yang pertama ( Dhuhur / Maghrib).
- Tartib, yakni mendahulukan sholat dhuhur sebelum sholat ashar dan mendahulukan sholat maghrib sebelum sholat isya’.
- Wila, yakni setelah salam dari sholat
pertama, segera cepat-cepat melakukan sholat kedua, tenggang waktu
anatara sholat pertama dengan sholat kedua, selambat-lambatnya,
kira-kira tidak cukup untuk mengerjakan dua roka’at singkat.
CARA JAMA’ TA’KHIR
Yang dimaksud dengan jama’ ta’khir
adalah, melakukan sholat dhuhur dalam waktunya sholat ashar, atau
melakukan sholat maghrib dalam waktunya sholat, isya’. Sholat shubuh
tidak dapat dijama’ dengan sholat dhuhur. Pelaksanaan sholat jama’
ta’khir antara sholat dhuhur dan ashar, dilakukan dengan cara, apabila
telah masuk waktu dhuhur, maka dalam hati niat mengakhirkan sholat
dhuhur untuk dijama’ dengan sholat ashar dalam waktu sholat ashar.
Kemudian setelah masuk waktu ashar, melakukan sholat dhuhur dan sholat
ashar seperti biasa tanpa harus mengulangi niat jama’ ta’khir. Demikian
juga cara melakukan jama’ ta’khir sholat magrib dengan sholat isya’.
Ketika masuk waktu maghrib berniat dalam hati mengakhirkan sholat
maghrib untuk di jama’ pada waktu sholat isya’.
SYARAT-SYARAT JAMA’ TA’KHIR
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan jama’ ta’khir apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat.
2. Jarak yang ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama’ ta’khir didalam waktu dhuhur atau waktu maghrib.
KONDISI DIPERBOLEHKAN MELAKUKAN JAMA’
Ketentuan jama’ dan atas adalah mengacu
kepada pendapat mazhab Syafii. Berikut ini adalah kondisi-kondisi yang
diperbolehkan melakukan sholat dengan jama’ dari berbagai mazhab:
- Perjalanan panjang lebih dari 80,64km (Syafii dan Hanbali).
- Perjalanan mutlak meskipun kurang 80km (Maliki).
- Hujan lebat sehingga menyulitkan
melakukan sholat berjamaah khusus untuk sholat maghrib dan isya’
(Maliki, Hanbali). Termasuk kategori ini adalah jalan yang becek, banjir
dan salju yang lebat. Mazhab Syafii untuk kondisi seperti ini hanya
memperbolehkan jama’ taqdim. Dalil dari pendapat ini adalah hadist Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. sholat bersama kita di Madina dhuhur dan
ashar digabung dan maghrib dan isya’ digabung, bukan karena takut dan
bepergian” (h.r. Bukhari Muslim).
- Sakit (menurut Maliki hanya boleh
jama’ simbolis, yaitu melakukan solat awal di akhir waktunya dan
melakukan sholar kedua di awal waktunya. Menurut Hanbali sakit
diperbolehkan menjama’ sholat).
- Saat haji yaitu di Arafah dan Muzdalifah.
- Menyusui, karena sulit menjaga suci, bagi ibu-ibu yang anaknya masih kecil dan tidak memakai pampers (Hanbali).
- Saat kesulitan mendapatkan air bersih (Hanbali).
- Saat kesulitan mengetahu waktu sholat (Hanbali).
- Saat perempuan mengalami istihadlah,
yaitu darah yang keluar di luar siklus haid. (Hanbali). Pendapat ini
didukung hadist Hamnah ketika meminta fatwa kepada Rasulullah s.a.w.
saat menderita istihadlah, Rasulullah s.a.w. bersabda:”Kalau kamu
mampu mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar, lalu kamu mandi dan
melakukan jama’ kedua sholat tersebut maka lakukanlah itu” (h.r. Ahmad,
Abu Dawud dan Tirmidzi.
- Karena kebutuhan yang sangat
mendesak, seperti khawatir keselamatan diri sendiri atau hartanya atau
darurat mencari nafkah dan seperti para pekerja yang tidak bisa
ditinggal kerjaannya. (Hanbali).
Para pekerja di kota-kota besar yang
pulang dengan tansportasi umum setelah sholat ashar sering menghadapi
kondisi sulit untuk melaksanakan sholat maghrib secara tepat waktu
karena kendaraan belum sampai di tujuan kecuali setelah masuk waktu
isya’, sementara untuk turun dan melakukan sholat maghrib juga tidak
mudah. Pada kondisi ini dapat mengikuti mazhab Hanbali yang relatif
fleksibel memperbolehkan pelaksanaan sholat jama’. Menurut mazhab
Hanbali asas diperbolehkannya qashar sholat adalah karena bepergian
jauh, sedangkan asas diperbolehkannya jama’ adalah karena hajah atau
kebutuhan. Maka ketentuan jama’ lebih fleksibel dibandingkan dengan
ketentuan qashar.
SHOLAT DI ATAS KENDARAAN
Pelaksanaan sholat di atas kendaraan
pesawat, sama seperti sholat ditempat lainnya. Jika dimungkinkan
berdiri, maka harus dilakukan dengan berdiri, ruku’ dan sujud dilakukan
seperti biasa dengan menghadap qiblat. Namun jika tidak bisa dilakukan
dengan berdiri, maka boleh sholat dengan duduk dan isyarat untuk sholat
sunnah. Sedangkan untuk sholat fardlu maka ruku-rukun sholat seperti
ruku’ dan sujud, mutlak tidak boleh ditinggalkan. Sholat fardlu yang
dilaksanakan di atas kendaraan sah manakala memungkinkan melakukan sujud
dan ruku’ serta rukun-rukun lainnya. Itu dapat dilakukan di atas
pesawat atau kapal api yang mempunyai ruangan atau tempat yang
memungkinkan melakukan sholatg secara sempurna. Apabila tidak
memungkinkan melakukan itu, maka sholat fardlu sambil duduk dan isyarat
bagi orang yang sehat tidak sah dan harus diulang. Demikian pendapat
mayoritas ulama.
Pendapat ini dilandaskan kepada hadist-hadist berikut:
- Dalam hadist riwayat Bukhari dari
Ibnu Umar r.a. berkata:”Rasulullah s.a.w. melakukan sholat malam dalam
bepergian di atas kendaraan dengan menghadap sesuai arah kendaraan,
beliau berisayarat (ketika ruku’ dan sujud), kecuali sholat-sholat
fardlu. Beliau juga melakukan sholat witir di atas kendaraan.
- Hadist Bukhari yang lain dari Salim
bin Abdullah bin Umar r.a. berkata:”Abdullah bin Umar pernah sholat
malam di atas kendaraannya dalam bepergian, beliau tidak peduli dengan
arah kemana menghadap. Ibnu Umar berkata:”Rasulullah s.a.w. juga
melakukan sholat di atas kendaraan dan menghadap kemana kendaraan
berjalan, beliau juga melakukan sholat witir, hanya saja itu tidak
pernah dilakukannya untuk sholat fardlu”.
Bagaimana melaksanakan sholat fardlu di
atas kendaraan yang tidak memungkinkan memenuhi rukun-rukun sholat?
Terdapat dua cara, yaitu:
Melakukan sholat untuk menghormati waktu (lihurmatil wakti)
dengan sebisanya, misalnya sambil duduk dan isyarat. Sholat seperti ini
wajib diulang (I’adah), setelah menemukan sarana dan prasarana
melaksanakan sholat fardlu secara sempurna
Cara melakukan sholat lihurmatil waqti,
sama seperti melakukan sholat biasa, hanya saja, bagi yang sedang
berhadats besar, seperti junub, dicukupkan dengan hanya membaca bacaan
yang wajib-wajib saja, tidak boleh membaca surat-suratan setelah bacaan
fatihah.
ANTARA WUDLU DAN TAYAMMUM
Saat bepergian atau di atas kendaraan,
untuk melaksanakan sholat terkadang mengalami kendala sulitnya mencari
air. Maka pada saat tidak menemukan air untuk berwudlu, atau ada air,
namun oleh pemilik air tidak diperbolehkan digunakan berwudlu’, seperti
ketika berada didalam pesawat, oleh petugas tidak diperbolehkan
menggunakan air untuk berwudlu’, karena dikhawatirkan dapat mengganggu
sistem pesawat, sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan para
penumpang. Maka dalam kondisi ini diperbolehkan tayammum, yaitu bersuci
dengan debu.
Pada saat dimana juga tidak terdapat sarana untuk bertayamum, seperti debu, maka sholatnya dapat dilakukan dengan cara di atas.
QADLA SHOLAT YANG TERTINGGAL SAAT BEPERGIAN
Apabila kita bepergian dan karena satu
dan lain hal kita terpaksa meninggalkan sholat atau tidak mungkin
melakukan sholat, maka kita wajib melakukan qadla atas sholat yang kita
tinggalkan tersebut. Qadla artinya melakukan sholat di luar waktu
seharusnya.
Untuk sholat yang ditinggalkan saat
bepergian jauh, qadla juga dapat dilaksanakan dengan qashar sesuai
ketentuan qashar di atas, asalkan masih dalam kondisi bepergian dan
belum sampai di tempat tujuan atau tempat bermukim, atau telah kembali
di rumah. Maka apabila kita ingin melakukan qadla shalat yang tertinggal
dalam bepergian, hendaknya melakukannya pada saat masih dalam
perjalanan dan sebelum sampai di rumah, sehingga kita masih mendapatkan
dispensasi melakukan qashar.
Apabila kita melakukan qadla shalat yang
tertinggal di perjalanan tadi telah sampai di tempat tujuan untuk
bermukim lebih dari tiga hari, atau setelah kita sampai di rumah, maka
kita tidak lagi mendapatkan dispensasi qashar dan harus melaksanakannya
dengan sempurna. Alasannya adalah karena keringanan qashar diberikan
saat bepergian dan saat itu kita bukan lagi musafir maka wajib
melaksanakan sholat secara sempurna.
BATAS MULAI DIPERBOLEHKAN MENGAMBIL KERINGANAN
Batas mulai diperbolehan jamak dan qashar
adalah pada saat musafir telah melewati batas desanya. Begitu juga
batas akhir mulai tidak diperbolehkan melakukan qashar atau jamak bagi
seorang musafir adalah pada saat mulai memasuki batas desa dimana dia
akan tinggal atau bermukim. Kalau anda melakukan qashar dan jamak takhir
saat perjalanan pulang, hendaknya melakukannya sebelum masuk batas
desa anda. Kalau anda terlanjur masuk desa tersebut, maka anda tidak
lagi berhak atas keringanan seperti jamak atau qashar.
Sumber Info :
Ustadz Muhammad Niam